CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Mau iklan mu Tersebar Seperti Virus?

AgLoCoMaiLs

aglocomails.com Homepages-Friends

Kamis, 19 Februari 2009

KISAH TAULADAN

TERNYATA, ANAKKU ANAK YATIM

Aku masih saja tercenung mendengar permintaan Akbar, putra ku yang duduk di sekolah dasar kelas 4. Usianya memang baru 9 tahun, tetapi cara berpikirnya dewasa sekali. Aku malu, takjub sekaligus terharu. Ku pandangi wajahnya yang tampan. Ah...aku seperti melihat ke dalam cermin.

Dua pekan yang lalu Akbar bertanya padaku apakah bosku jahat sehingga aku harus terus menerus bekerja siang dan malam. Bahkan sering² waktu libur juga harus kuisi dengan tugas ke luar kota atau mengikuti seminar di luar negeri. Tentu saja waktuku untuknya sedikit sekali.

Untungnya istri ku ibu rumah tangga yang baik. Aku bangga dan tidak salah memilihnya menjadi ibu bagi anak²ku. Walau istriku, Muthia, seorang wartawan paruh waktu di sbuah media cetak ternama di kota ini, tetap saja dia menomorsatukan aku dan Akbar,keluarganya. Padahal kalau dia mau, karier sebagai wartawan profesional bisa diraihnya.

"Tapi kan Akbar ga bisa main sama Mama terus,Pa? Mama ga enak diajak berantem²an. Mama juga ga jago main catur apalagi ngajarin Akbar renang. Lihat air saja Mama sudah takut," protesnya pada suatu hari.

Tetapi lagi² kesibukan menghadang ku bercengkerama dengannya.

"Pa...Akbar kangen tuh. Mbok ya luangkan waktu sedikit. Karier kita bukan cuma di kantor kan, Pa? Tapi juga di sini. Di rumah ini. Menjadikan Akbar dan adik²nya kelak menjadi anak yang saleh dan salehah." Begitu suatu malam Muthia mencoba mengingatkan ku.

Aku masih saja memandangi wajah polosnya. Tak terasa air mata ku menitik dan jatuh membasahi pipi Akbar. Akbar mendusin. Sttt... Kutepuk² punggungnya agar kembali tidur.

Pukul 22.30 WIB tadi ketika Muthia membukakan pintu, dia berbisik bahwa Akbar belum tidur karena menungguku sejak sore tadi. Astaghfirullah ! Aku baru ingat ,kalau aku berjanji akan pulang sore untuk menemaninya bermain catur.

"Eh Papa. Baru pulang, Pa? Capek ya?" tanya Akbar yang terdengar biasa saja justru membuat hatiku pontang-panting.

"Aduuuh...maafin Papa, ya Sayang. Papa ada rapat mendadak," kataku mencoba mengajuk hatinya dan mendekatinya duduk di ruang keluarga. Kulihat di atas meja sudah terbuka papan catur berikut buah² catur yang sudah disusun rapi. Di sebelahnya kulihat celengan plastik berbentuk mobil VW milik Akbar sudah terbuka dan ada tumpukan uang di dekatnya.

"Ga apa² kok,Pa. Kita jadi main catur kan,Pa? Nih, sudah Akbar siapin dari tadi papan caturnya,Pa. Oh ya Pa, boleh ga Akbar pinjam uang," tanyanya sambil menghitung uang miliknya. Malam² begini pinjam uang untuk apa,pikirku.

"Boleh dong Sayang. Tapi untuk apa malam² begini Akbar pinjam uang sampai membobol celengan segala?" tanya ku sambil mengeluarkan berapa rupiahpun yang dibutuhkan Akbar. Ah...,rasa bersalah terus menggumpal dan makin menyesakkan dadaku.

"Sepuluh ribu deh, Pa," jawabnya sambil mengumpulkan hasil tabungannya. Kusodorkan selembar puluhan ribu sambil sekali lagi kutanya untuk apa uang tersebut.

"Gini Pa. Kata Mama, Papa tuh sibuk bukan karna ga sayang sama Akbar. Tapi karna Papa sibuk sekali dan waktu Papa sangat berharga. Jadi, Akbar tanya sama Mama, gaji Papa tuh berapa sih? Mama bilang pokoknya cukup untuk kita bertiga. Jadi Akbar kira² saja. Kalau Mama bilang waktu Papa sangat berharga , pasti gaji Papa gede. Pasti Papa dapat uang banyak dari bos Papa. Karena waktu libur juga Papa pakai buat kerja. Nah, Akbar kira² kalau dihitung per jamnya gaji Papa seratus ribu, berarti kalau setengah jam jadi lima puluh ribu, kan Pa? Benar?" tanyanya meminta persetujuan ku. Aku mengangguk perlahan sambil mereka² ke mana arah pembicaraan ini.

"Uang tabungan Akbar ini baru ada empat puluh ribu, makanya Akbar pinjam sepuluh ribu, karena Akbar pingin beli waktu Papa untuk bermain catur selama setengah jam. Boleh kan,Pa? Oh ya, ini uangnya lima puluh ribu,Pa. Nanti yang sepuluh ribu Akbar ganti kalau tabungan Akbar sudah cukup ya... Nah,sekarang yuk,Pa kita main catur."

Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan saat putra kandungku meletakkan uang² receh hasil tabungannya plus selembar puluhan ribu di atas telapak tanganku. Ya Allah, ternyata anakku, anak yatim...


Kisah diambil dari buku BOLEHKAH AKU MEMANGGILMU AYAH
Karangan CHICHI SUKARDJO
Terbitan GEMA INSANI

0 komentar: